Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya
ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau
ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang
terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia.
Takdir dalam Islam
Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.
Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.
Untuk memahami konsep takdir, jadi
umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua
dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.
Dimensi
ketuhanan
Dimensi ini merupakan sekumpulan
ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa
menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
- Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang
Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah
tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa
lalu, kini atau akan datang).
- Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan
sungguh telah menetapkannya (takdirnya)
(Al-Furqaan / QS. 25:2)
- Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala
sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada
dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70)
- Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al Maa'idah / QS. 5:17)
- Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk
kepadamu semuanya
(Al-An'am / QS 6:149)
- Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96)
- Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala
akibat.
Dimensi kemanusiaan
Dimensi ini merupakan sekumpulan
ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah memperintahkan
manusia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan
tujuan hidup yang dipilihnya.
- Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia (Ar Ra'd / QS. 13:11)
- (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun
(Al Mulk / QS. 67:2)
- Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi zaman
dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa), siapa
saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima ganjaran mereka di
sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga mereka
akan bersedih (Al-Baqarah / QS. 2:62). Iman kepada Allah dan hari kemudian dalam
arti juga beriman kepada Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir.
- ... barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir... (Al Kahfi / QS. 18:29)
Implikasi Iman kepada Takdir
Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan
dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah
ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan
terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan,
proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya
tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah
terjadi.
Oleh sebab itu sekiranya manusia
menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah
oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan
oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah
melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya
usahanya itu dinialianya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja
menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai
kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).
Kesimpulannya, karena manusia itu
lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha
secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia
diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk
ditaati.
Pemahaman
Takdir
Konsep takdir, selalu menjadi perdebatan dan pertanyaan banyak orang.
Belakangan ini, saya cukup banyak menemukan pertanyaan atau pun diskusi-diskusi
tentang takdir. Bagi Umat Islam, Takdir merupakan bagian daripada Aqidah,
karena merupakan bagian daripada Iman terhadap Qadla dan Qadar, dimana kata
Takdir ini merupakan kata yang berasal dari Qadar. Karenanya, pemahaman tentang
takdir ini sangat penting bagi seorang muslim. Sebab, pemahaman akan takdir ini
akan menentukan arah dan sikap seorang muslim terhadap berbagai hal yang
terjadi selama hidupnya. Karenanya, banyak juga ulama-ulama yang membahas
konsep takdir ini dalam buku yang mereka buat.Mengenai takdir ini, terdapat 3 golongan yang memahaminya secara berbeda. Golongan pertama, yang berpendapat bahwa manusia itu tidak bebas sama sekali, apa yang kita lakukan, sudah ditentukan oleh ALLAH. Golongan yang kedua, berpendapat bahwa kita sangat bebas, apa pun yang kita lakukan, tidak ada campur tangan Tuhan sama sekali. Dan golongan terakhir yang berpendapat bahwa apa pun yang kita lakukan semuanya ada dalam aturan-aturan Allah, ada campur tangan Allah, tapi kita pun memiliki pilihan untuk melakukan sesuatu.
Saya sendiri, jauh sebelum mengenal konsep takdir, memiliki pemahaman tersendiri berdasarkan hasil berfikir dan merenung. Dalam buku Pengajaran Agama Islam karya HAMKA, disebutkan bahwa arti Qadla itu adalah aturan, sedangkan Qadar adalah ukuran. Jauh sebelum membaca buku tersebut, saya berfikir bahwa segala hal yang ada di muka bumi ini, tunduk pada hukum sebab-akibat. Buat saya, pemahaman terhadap Qadla dan Qadar itu sederhana saja. Apapun yang terjadi di bumi ini, pasti ada sebabnya, bahkan kematian, rezeki dan jodoh pun tunduk pada hukum ini. Dalam buku tersebut juga dikatakan bahwa hukum sebab-akibat ini lah yang kemudian disebut dengan Sunatullah. Dalam ajaran Islam, segala yang ada di muka bumi ini mengikuti Sunnatullah, aturan Allah. Itulah Qadla. Sedangkan Qadar adalah ukuran dari aturan-aturan tersebut. Besar-kecil (ukuran) usaha atau ikhtiar dalam mengikuti aturan tersebut akan menentukan hasil, karenanya hasil dari usaha inilah yang disebut dengan takdir.
Saya tidak pernah berfikir bahwa Allah mengatur kehidupan manusia ini seperti kita memainkan catur. Tidak seperti itu. Karenanya, saya tidak setuju dengan golongan yang pertama. Buat saya, campur tangan Allah itu ada pada aturan-aturan yang Dia buat. Dan kita, sebagai manusia, ada dalam aturan-aturan tersebut, sehingga kita pun tidak bebas sama sekali dari campur tangan Allah. Karenanya, saya pun tidak sepakat dengan golongan yang kedua. Lalu, aturan yang seperti apa kah yang sudah Allah tentukan ? Segala macam aturan. Tidak hanya tentang aturan bagaimana hidup yang benar, tapi juga aturan-aturan terhadap alam semesta. Umur, mati, sehat, sakit, tua, rusak, itulah aturan-aturan Allah.
Contoh sederhananya begini, kita tahu, semakin tua umur suatu tali, akan semakin lapuk dan kemampuan untuk mengangkat dan menahan bebannya pun akan semakin berkurang, inilah Qadla. Katakanlah, jika dulu tali tersebut sanggup menahan berat 200 Kg selama berjam-jam, maka sekarang tali tersebut hanya mampu menahan beban seberat 50 Kg, itupun kurang dari 2 jam, inilah Qadar. Masalahnya adalah, kita tidak pernah tahu berapa beban yang sanggup tali tersebut tahan dan berapa lama, yang kita tahu, bahwa tali tersebut sudah tua dan lapuk. Karenanya, jika ingin selamat dari kecelakaan, ketika mengangkat benda dengan tali, atau ketika kita bergelantungan dengan tali, adalah dengan menghindari penggunaan tali yang tua tersebut. Kita tidak bisa menantang aturan Allah dengan nekat menggunakan tali tersebut dengan beban melebihi kemampuan tali. Karenanya, ketika kita nekat menggunakan tali tersebut, kemudian kita celaka, tidak bisa kita mengatakan,”Ini adalah ujian dari Allah…”, tidak seperti itu. Karena, Allah sudah memberikan kepada manusia akal untuk digunakan memahami aturan-aturan Allah tersebut, jika kemudian kita menentang akal kita sendiri, dan kemudian terjadi kecelakaan, itu akibat kelakuan kita sendiri. Bukan karena Allah yang melakukan. Karenanya, kita harus intorspeksi, tidak bisa kita menyalahkan Allah. Takdir kita celaka, karena perbuatan kita sendiri. Allah sudah tentukan Qadar pada tiap aturan tersebut. Karenanya, kita harus menggunakan akal kita untuk memahami aturan tersebut dan memilih ketika melakukan sesuatu.
Kematian pun mengikuti aturan ini. Contoh pada kasus bunuh
diri. Bisa jadi, orang yang melakukan bunuh diri belum saat nya mati. Bisa
jadi, Allah sudah menentukan hari kematiannya di waktu yang lain. Tapi, akan menjadi
berantakan segala aturan yang ada jika kemudian, misalnya, ada orang yang
mencoba bunuh diri dengan minum baygon sampai ber-galon-galon, atau mencoba
memegang setrum tegangan tinggi selama berjam-jam, masih hidup juga, alasannya,
karena Allah belum menentukan hari kematiannya saat itu. Tidak seperti itu.
Allah tidak akan sekonyol itu. Allah memang sudah menentukan saat kematian
seseorang, tapi Allah pun tidak akan membiarkan aturan yang Dia buat menjadi
berantakan. Karenanya, orang tersebut “harus” mati, agar aturan Allah tersebut
tetap berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun, sebetulnya, bukan saatnya dia
mati. Karena itu lah, Allah melaknat orang-orang yang bunuh diri. Bayangkan,
jika orang tersebut masih hidup, tentunya akan menyebabkan berbagai aturan
kacau balau, ilmu pengetahuan menjadi berantakan, dan mungkin, akan ada ribuan
orang yang mencoba minum baygon sebagai sarapan pagi….heu heu heu.
Kasus kecelakaan mobil atau motor karena ban pecah, tabrakan, rem blong,
semuanya mengikuti aturan yang ada. Ban pecah, bisa terjadi karena tertusuk
paku, atau tekanan udaranya kurang, atau umur bannya sudah tua, jadi bukan
Allah yang memecahkannya, aturan Allah lah yang membuat hal itu terjadi. Kasus
kecelakaan lainnya, seperti tabrakan kereta api, pesawat jatuh, kapal
tenggelam, semuanya pasti ada sebab nya, dan biasanya karena adanya sunnatullah
yang dilanggar. Tapi dari situ, kita seolah-olah ditegur oleh Allah agar
melakukan segala sesuatu sesuai dengan aturan dan ukuran yang telah ditetapkan.Khusus untuk urusan Rezeki dan Jodoh, saya agak kesulitan juga menjelaskannya, karena memang untuk kasus-kasus ini sering terjadi hal-hal yang agak “aneh”. Bukan tidak masuk akal, hanya saja pada beberapa kasus cenderung keluar dari aturan-aturan yang ada. Selain itu juga karena adanya persinggungan dengan “takdir” orang lain. Tapi, sebagian besar tetap terikat Sunnatullah yang sudah ada.
Dalam urusan Rezeki, Islam memerintahkan untuk bekerja keras. Ingin kaya, ya bekerja keras. Ingin urusan Rezeki lancar, carilah jalan masuknya rezeki yang baik. Karenanya, biasanya, urusan Rezeki ini berbanding lurus dengan besarnya Usaha, apa yang dikerjakan, dan pada siapa kita bekerja. Jadi, tidak bisa kita mengeluh, “Sudah kerja banting tulang, tapi masih kayak gini-gini aja (miskin)…”. Pertanyaannya adalah, apa yang dikerjakan ? Di mana bekerjanya? dan kerja pada siapa ? Kalau kerja keras siang malam, tapi hanya sebagai penarik becak, wajar saja kalau tidak kaya, karena memang pintu nya kecil. Kalau sebagai karyawan, wajar saja gajinya pas-pasan, karena besarnya gaji kita juga ditentukan oleh perusahaan. Tapi, kalau jadi seorang pembicara seminar, wajar saja bayarannya besar. Karenanya, urusan Rezeki sangat berhubungan dengan orang lain juga. Tapi, dunia ini membuktikan bahwa orang-orang yang sukses secara finansial adalah orang-orang yang tahu bagaimana dia harus bekerja, tahu apa yang harus dikerjakan, dan tahu pada siapa dia harus bekerja. Tidak asal, “pokoknya gua kerja”. Dan untuk mencapai ke level itu, yang paling dominan adalah kerja keras dan pengetahuan tentang strategi mencari rezeki. Karenanya, agar rezeki menjadi lancar, kita pun harus mengkondisikan diri kita pada situasi yang memang memungkinkan kelancaran rezeki tersebut. Tidak bisa hanya tidur dan diam, lalu berkata, “kalau udah rezeki mah pasti datang sendiri…”. Karena itu, keadaan finansial kita sekarang merupakan hasil dari kerja kita diwaktu yang lalu. Kalau misalkan kita kerja selama ini tidak kaya-kaya juga, carilah tempat yang lain, atau pekerjaan yang lain. Tidak mungkin hanya diam saja di tempat tersebut. Kalau misalkan sampai saatnya mati belum kaya juga, setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari kualitas hidup yang lebih baik.
Meksipun ada juga kasus-kasus datangnya Rezeki dari arah yang “tidak bisa diduga”, tapi biasanya, hal tersebut juga terjadi dari usaha yang kita lakukan sebelumnya. Misalnya, kita sering menolong orang lain, atau berbuat baik kepada orang lain. Sebagai rasa terima kasih, maka orang yang ditolong tersebut memberikan uang atau rezeki lainnya kepada kita. Itu pun, pada dasarnya, akibat usaha kita juga. Jarang sekali ada orang yang kaya akibat nemu duit 1 milyar di jalan. Kalau warisan, itu lain lagi, biasanya warisan tersebut merupakan hasil dari kerja keras orang yang mewariskannya. Penerima waris hanya menerima hasilnya saja.
Nah, untuk urusan jodoh, memang “sepenuhnya” karena keputusan Allah. Biasanya, untuk kasus jodoh ini, campur tangan Allah dirasakan sangat besar. Karena, kadang, sebesar apa pun usaha yang kita lakukan, kalau memang orang yang kita incar tidak suka, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, urusan hati ini, hanya Allah saja yang bisa membolak-balikkannya, tentu saja dengan caraNya yang terkadang tidak bisa kita mengerti. Tapi, tetap saja, orang-orang yang berikhtiar lebih keras, cenderung lebih cepat mendapatkan jodohnya daripada orang-orang yang menunggu datangnya jodoh. Karenanya, kita pun harus introspeksi diri, seberapa besar usaha kita untuk mendapatkan jodoh tersebut…
Lalu, apa fungsinya Do’a ? Nah, Do’a adalah harapan terhadap kondisi ideal yang kita inginkan dan kita minta kepada Allah. Salah satu alasan mengapa Do’a tidak langsung dikabulkan adalah karena Allah lebih mengetahui kondisi kita yang sebenarnya daripada kita sendiri. Karenanya, agar Do’a kita terkabul, sering kali Allah menyiapkan kondisi kita terlebih dahulu. Caranya, mungkin melalui kemantapan hati ketika mengambil suatu keputusan, atau rasa gelisah ketika akan melakukan sesuatu yang salah, yang jelas, bentuk pengabulan do’a ini sangat jarang sekali yang langsung. Misalkan, kita ingin menjadi orang yang sholeh, kemudian kita berusaha untuk mencari lingkungan yang baik agar kita bisa menjadi sholeh. Nah, dalam pencarian itulah, biasanya Allah menolong kita, misalnya dengan memberikan rasa tenang ketika kita bertemu orang-orang yang sholeh, atau ketika berada di lingkungan tersebut, sehingga kita merasa betah berada disana, dan pada akhirnya, karena sering bergaul, pelan-pelan kita pun menjadi orang yang sholeh. Tidak ujug-ujug jadi sholeh, bisa hancur dunia persilatan. Allah hanya memberikan tuntunan, melalui sinyal-sinyal yang dia berikan, keputusan tetap ada pada kita. Jadi, Allah tidak memperlakukan kita seperti bidak catur…”Kamu, ke sini aja ya…? biar ntar ke neraka….” , “Nah, kamu kesana aja…supaya masuk surga..”…Saya kira tidak begitu. Hal tersebut tentu saja tidak adil, percuma saja kita hidup kalau misalkan Allah sudah menentukan “Kamu masuk Surga…”, “Kamu masuk Neraka…”. Dan untuk apa ada penghisaban di akhirat kalau jelas-jelas kita masuk neraka atau surga.
Fenomena-fenomena alam yang terjadi juga, pada dasarnya adalah sunnatullah agar alam semesta ini tetap stabil. Gempa Bumi, letusan gunung merapi, dan lain-lain. Hanya saja, mungkin, pada saat itu Allah benar-benar “turun tangan” agar manusia tidak sombong dan lalai. Contoh pada kasus Tsunami di Aceh, mungkin yang terjadi pada saat itu bukan hanya semata-mata fenomena alam biasa, tapi mungkin memang Allah memberikan teguran secara langsung. Meskipun, secara ilmiah, masih bisa dijelaskan.
Intinya, campur tangan Allah di dunia ini, “diwakili” oleh ketentuan yang sudah Dia gariskan. Tidak turun tangan langsung seperti mengatur bidak-bidak catur. Dalam kehidupan kita, kita tidak bisa lepas dari aturan-aturan (ketentuan) tersebut. Bagaimanapun jalan kita, kita terikat oleh ketentuan tersebut. Namun, kita pun dibekali akal untuk memahami aturan-aturan tersebut, sehingga ketika kita memutuskan untuk melakukan sesuatu, kita tidak bertindak bodoh dan celaka karena melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan. Namun, terkadang, dalam beberapa hal, Allah benar-benar mengambil alih dan “menyentil” kehidupan kita dengan caranya yang tidak bisa kita pahami.
Jadi, selamat menentukan arah takdir …